Reaksi pencoklatan browning
terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan
enzimatis biasa terjadi pada buah-buahan dan sayur-sayuran yang memiliki
senyawa fenolik. Senyawa ini berfungsi sebagai substrat bagi enzim polifenoloksidase
(PPO/1,2-benzenediol/oxygen oxidoreductase; EC 1.10.3.1). Terdapat berbagai
macam senyawa fenolik, yaitu katekin dan turunannya (tirosin), asam kafeat,
asam klorogenat, serta leukoantosianin.
Pada jaringan tanaman, enzim
PPO dan substrat fenolik dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi
pencoklatan. Untuk memicu terjadinya reaksi pencoklatan, harus ada reaksi
antara enzim PPO, substrat fenolik, serta oksigen. Reaksi pencoklatan megubah
struktur kuinol menjadi kuinon, seperti pada gambar berikut ini.
Kuinol Kuinon
Sumber: Fennema OR (1996)
Untuk mengontrol
pencoklatan enzimatis dapat dilakukan inaktifasi PPO dengan panas, penghambatan
PPO secara kimiawi (dengan asidulan, pengaturan pH, pengkelat, atau kofaktor
esensial yang terikat pada enzim), agen pereduksi (asam askorbat &
eritrobat), pengurangan oksigen (pengemasan vakum, perendaman gula, pelapisan
edible film), enzim proteolitik, ataupun dengan madu (Hartoyo A et al 2010).
Reaksi pencoklatan
non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat
vitamin C. Namun, hanya akan dibahas karamelisasi dan reaksi Maillard saja.
Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium
bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya,
produk-produk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering.
Larutan asam (pH 2-4,5) ini memiliki muatan negatif (Fennema 1996). Terdapat
tiga kelompok karamel, yaitu karamelan, karamelen, dan karamelin, yang
masing-masing memiki bobot molekul berbeda(Hartoyo A et al 2010).
Reaksi Maillard terjadi antara
gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Pada
akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul
besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid atau keton pada
gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus
aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah
suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula.
Berkaitan dengan suhu, reaksi
ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC.
Kadar air 10-15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi Maillard, sedangkan
reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada pH
rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak sehingga tidak tersedia
untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula yang lebih kecil bereaksi
lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi
stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa
lebih reaktif dibanding yang lain (Hartoyo A et al 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Fennema OR. 1996. Food
Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan
dan Gizi. Bogor: MBrio Press